BUDAYA SUKU BATAK
- Sejarah
Batak merupakan
salah satu suku
bangsa di
Indonesia.
Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli,
Sumatera
Utara. Suku bangsa
yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo,
Pakpak,
Dairi,
Toba,
Simalungun,
Mandailing,
dan Angkola.
Sebagian orang Batak menganut agama
Kristen
dan sebagian lagi beragama Islam.
Tetapi ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut
dengan Parmalim) dan juga penganut kepercayaan animisme
(disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua
ajaran ini sudah semakin berkurang.
Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba
sila-silahi (silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung
Parsoluhan, suku Pohan. Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian
yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan kerajaan Batak
dipimpin oleh raja yang bernama. Sultan Maharaja Bongsu pada tahun
1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai
kebijakan politiknya.
Topografi
dan alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua
(Proto
Melayu) untuk
bermigrasi ke wilayah Danau
Toba sekitar 4.000
- 7.000 tahun lalu. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan
bahwa orang-orang Austronesia dari Taiwan
telah berpindah ke Sumatera
dan Filipina
sekitar 2.500 tahun lalu, dan kemungkinan orang Batak termasuk ke
dalam rombongan ini. Selama abad ke-13, orang Batak melakukan
hubungan dengan kerajaan
Pagaruyung di
Minangkabau
yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara
Batak.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil
asal India
mendirikan kota dagang Barus,
di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kamper yang
diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper
dari tanah Batak berkualitas cukup baik, sehingga kamper menjadi
komoditi utama pertanian orang Batak, disamping kemenyan. Pada abad
ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya.
Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir
Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kamper banyak
dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang
mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara.
Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal.
- Deskripsi Lokasi
Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman
orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli
Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah.
Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra
Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang
menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah administrative, mereka
mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra
Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan
Asahan.
Tano Batak (Tanah Batak) meliputi daerah seluas
kurang lebih 50.000 km2,
berpusat di Tao Toba (Danau Toba). Terbentang dari wilayah pegunungan
Bukit Barisan di sisi sebelah barat Propinsi Sumatera Utara hingga
pantai pesisir di sebelah timur. Sebagian besar Tano Batak merupakan
daerah dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba berilkim sejuk
sepanjang tahun, yaitu daerah Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak
Simalungun di sebelah utara danau serta daerah Batak Toba, Batak
Angkola dan Batak Mandailing di bagian selatan. Pembagian daerah ini
berdasarkan persebaran masing-masing sub suku Batak yang menempati
wilayah Tano Batak. Hingga saat ini pembagian daerah pemukiman
masyarakat batak tersebut diatas juga digunakan sebagai dasar
pembagian daerah administratif yaitu setingkat kabupaten.
Daerah Tano Batak berbatasan dengan Propinsi Aceh
di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan daerah kepulauan
Nias dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman
masyarakat mayoritas melayu yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan
di sebelah selatan berbatasan dengan daerah
Sumatera Barat.
Danau Toba sebagai simpul pemersatu Tano Toba
berada pada ketinggian 900 m di atas
permukaan laut. Danau Toba terbentuk dari bekas kawah letusan gunung
berapi yang kemudian dipenuhi oleh air. Danau Toba adalah salah satu
kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau terbesar di kawasan Asia
Tenggara dengan pemandangannya yang menawan di sekitar danau.
Terdapat sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang dinamakan
Pulau Samosir (menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar
terpisah dengan dataran disekeliling Danau Toba artinya tidak
benar-benar sebagai sebagai sebuah pulau).
Masyarakat yang menamakan dirinya Bangso Batak ini
meliputi sekitar ±6 juta populasi (sensus
tahun 2000), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu Batak Karo, Batak
Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak
Mandailing. Kumpulan masyarakat ini disatukan oleh kesamaan dalam hal
bahasa, adat istiadat dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari
satu nenek moyang yang sama yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian
sebagai petani baik petani sawah dan ladang merupakan mata
pencaharian utama mereka disamping mata pencaharian lainnya seperti
pedagang, tenaga pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama yang dianut oleh
masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha serta aliran
kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat
hingga saat ini.
Masyarakat Batak merupakan masyarakat perantau yang diwarisi dengan
sifat pekerja keras, berani, jujur dan pantang menyerah. Keinginan
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu ditanamkan kepada
generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda atau
pemudi batak harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta
untuk merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi
kerinduan akan kampung halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak
heran saat ini banyak orang Batak yang berhasil dan sukses tersebar
di seluruh penjuru dunia.
- Unsur Budaya
- Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan
beberapa logat, yaitu :
- Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo
- Logat Pakpak yang dipakai oleh orang Pakpak
- Logat Simalungun yang dipakai oleh orang Simalungun
- Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
- Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong
kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu
disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut
Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat
bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara
bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya
sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung
kepada persetujuan pesertanya.
- Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana
yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti
cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol
dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak
juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati),
piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis
tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya
yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak
fungsi dalam kehidupan adat Batak.
Sistem teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik
dengan adanya ruma batak yang menjadi arsitektur kebanggaan mereka.
Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti ijuk, kayu,
dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini
menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis ruangan
tersebut. Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung
atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga,
huta, kemudian bius sebagai kelompok yang
terbesar.
Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian
mengukir sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh
bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material
yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya
digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin. Peninggalan
perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan
teknologi yang telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan,
masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang disebut
sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri
serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan
tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut
ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Hingga sekarang
orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini
namun jumlah peminat dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah
sangat terbatas jumlahnya.
- Organisasi Sosial
Dalam sistem adat istiadat orang Batak dikenal adanya Dalihan na Tolu
yang berarti Tiga nan Satu. Tiga unsur penting dalam sistem
kekerabatan masyarakat berdasarkan asas Dalihan Na Tolu berlaku
secara umum dalam semua sub suku walaupun berbeda-beda dalam
penamaannya, saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dalihan Na
Tolu berasal dari kata ”dalihan” yang berarti tungku dan ”na
tolu” artinya nan tiga. Tungku nan tiga melambangkan terdapat tiga
buah batu sebagai tungku yang menopang kuali (lambang kehidupan
sehari-hari). Hal ini mencerminkan kehidupan sehari-hari orang Batak
yang ditopang oleh prinsip Dalihan Na Tolu. Sistem Dalihan Na Tolu
menentukan kedudukan, hak dan kewajiban orang Batak dalam
lingkungannya.
Dalam sistem masyarakat orang Batak Toba ketiga
unsur ini digambarkan sebagai Hula-hula, Dongan Sabutuha dan Boru.
Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan
silsilah. Seorang anak harus mengetahui asal-usul klan marga
keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap orang dapat
menempatkan diri dengan baik dalam tatanan
pergaulan di masyarakat.
Salah satu contoh penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini dapat dilihat
dalam penggunaan ulos yang erat kaitannya dengan kehidupan adat orang
Batak Toba maupun sub suku Batak lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba
pemberian ulos ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan
kesejahteraan jasmani dan rohani dan hanya digunakan pada upacara
khusus.
- Perkawinan
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa
menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang
menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain
marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku
Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda
klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang
dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen.
Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita
yang sudah menikah.
- Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan
yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta
didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang
disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan peendiri dari
Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya
nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih
berdiam dalam satu kawanan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya
sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka
dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan
dibelakang nama kecilnya. Stratifikasi sosial orang Batak
didasarkan pada empat prinsip yaitu :
- Perbedaan tigkat umur
- Perbedaan pangkat dan jabatan
- Perbadaan sifat keaslian
- Status kawin
- Mata Pencaharian
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis
keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan
(genealogi) terlihat dari silsilah marga
mulai dari Si
Raja Batak, dimana
semua suku bangsa Batak memiliki marga.
Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman yang terlihat
dari terbentuknya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi
orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk
suatu tradisi adat-istiadat
yang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku
Batak yang bermukim di Toba,
walaupun marga-marga
yang bermukim di Mandailing
dan Toba
banyak yang sama, seperti marga Siregar,
Lubis,
Hasibuan, dan Batubara.
Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk
kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam
bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok
dongan partubu jonokan do dongan parhundul.
Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah
sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat
lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.
- Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi
di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan
marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh
menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah
yang dimiliki perseorangan.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini
bermatapencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha
yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan
seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini
sudah cukup banyak juga yang memulai
merambah ke bidang usaha jasa.
Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam
padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah.
Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan
Danau Toba. Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran
yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam
padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara
(Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan
tertutup serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga
mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan untuk pengolahan ladang.
Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil sayuran dan buah
yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan
oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.
Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai
daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat
menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan
oleh pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas
dan juga tanpa penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya
dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan
panen satu hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak dapat
digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan
berpindah ke ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang yang baru
dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu
(dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang
adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum
dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara
dibakar. Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu
lahan agar tidak mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus
sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai menanam. Selama musim
pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk
kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya
yang mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa terusik.
Sepertinya tidak hanya orang Batak saja yang melakukan
ritual dan kebiasaan ini.
Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah
tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran dan mentimun. Demikian juga
pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan
tuak, sejenis minuman beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat
Batak. Ada pula beberapa komoditi unggulan yang menjadi kelebihan
suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari daerah Simalungun dan
Mandailing adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari
daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan dan
kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano
Batak ini.
Saat ini masyarakat Batak sudah banyak yang
mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak tidak mau
ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang Batak.
Tetapi yang saya sayangkan adalah dampak yang diakibatkan oleh pola
pikir baru ini. Masyarakat jadi sangat tergantung dengan hasil panen
dengan bibit padi hibrida yang "katanya berlipat ganda"
tanpa melakukan proses pengolahan lahan dengan semestinya. Bagaikan
mengharapkan hujan turun dari langit saja.
Beralih kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi
terhadap pertanian di tanah Batak. Pengaruh perkembangan perekonomian
tersebut mulai terlihat ketika penjajah memasuki daerah Tano Toba.
Produksi tanaman padi dan hasil ladang meningkat pesat. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk para pekerja kuli
yang datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan
dari semenanjung Malasya (mayoritas china) dan juga daerah Jawa,
karena masyarakat lokal tidak bersedia menjadi pekerja untuk
penjajah. Pada tahun-tahun pertama masa pendudukan penjajahan,
pejabat kolonial telah membangun sistem transportasi yang menggunakan
tenaga para pekerja kuli tersebut.
Untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman
padi di sawah, pejabat kolonial menyediakan lahan yang akan diolah
untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi. Beberapa
tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman yang berasal
dari Eropa seperti kentang dan kol di daerah dataran tinggi Karo.
Masyarakat menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada
dapat diekspor hingga ke luar negeri (Penang
dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah Tapanuli
kemudian juga turut mencoba mengelola jenis tanaman yang sama. Selain
tanaman sayuran, diadakan juga percobaan penanaman tanaman perkebunan
yang menjadi cikal bakal pengembangan kawasan perkebunan di Tano
Toba.
- Religi
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya
meliputi batak selatan. Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan
penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun demikian banyak sekali
masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan konsep
asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam
semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan
bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan
tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat
tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom:
berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya
dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi:
jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki
seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga
percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen
Protestan, mereka
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud
dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
- Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
- Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang
terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan
berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi
dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung
tentang ular (ulok)
dengan boru Hutabarat, dimana boru Hutabarat tidak boleh dikatakan
cantik di Tarutung.
Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama
lagi, menurut kepercayaan orang itu.
Sebelum masa penjajahan kolonial, orang Batak
menganut aliran kepercayaan yang beranekaragam. Umumnya mereka
percaya pada kekuatan di alam dan kekuatan benda-benda yang
dikeramatkan. Orang Batak juga percaya akan adanya hubungan antar
kehidupan orang yang masih hidup dengan kehidupan orang mati. Salah
satunya aliran kepercayaan yang masih bertahan hingga kini adalah
aliran kepercayaan Parmalim yang mengkuti aliran kepercayaan
tokoh Sisingamangaraja.
Penyebaran misi agama yang masuk bersamaan dengan
kedatangan penjajah kolonial membawa pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan agama di Tano Toba. Melalui penaklukan dalam perang
maupun penyebaran agama secara damai, agama tertentu telah menjadi
pegangan orang Batak dalam sistem keimanan
mereka.
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah
kepercayaan terhadap Mulajadi Na Bolon yang dipercayai oleh orang
Batak sebagai dewa tertinggi mereka: pencipta 3(tiga) dunia: dunia
atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah
(banua toru). Manusia dipercaya hidup di tengah, tidak terpisah dari
alam, manusia satu dengan kosmos. Adat memimpin hidup manusia
perseorangan, sedangkan masyarakat adalah simbol ketertiban kosmos.
Tiga golongan fungsional dalam masyarakat adat Batak yang disebut
Dalihan Na Tolu dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia
itu.
Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco
Polo melaporkan
bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik"
dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn
Battuta,
mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan
Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam
sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha
dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin
dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang
Paderi di awal
abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan
pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.
Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan
masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama
Protestan.
Kerajaan
Aceh di utara,
juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan
Dairi.
Misionaris Kristen
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal
Inggris,
Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga
menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di
dataran tinggi Silindung
dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini,
mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan
masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar
Negeri.
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan
Herman
Neubronner van der Tuuk
untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda
dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang
menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman
tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi
pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig
Ingwer Nommensen.
Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa
Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab
Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891.
Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan
pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah
dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Nasrani
dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen
sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan
kolonialisme Hindia-Belanda,
dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi
dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang
dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907,
setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja
XII wafat.
Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah
berdiri di Balige
pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah
perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana.
Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
didirikan.
- Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis);
Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat
Musik tradisional : Gong, Saga-saga. Hasil
kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu
ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara
kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan
upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang
diwariskan nenek moyang.
Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat
pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian
yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang Batak
Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan
jenis-jenis nyanian. Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba
adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai
jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan
salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari
duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan
kuasa-kuasa magis. Acara tari-menari diadakan untuk memohon
kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa.
Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil
balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada
waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat
animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan
kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
Selain menari orang Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara
perorangan, maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita
tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan
panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah
satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara
dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan
sedih.
Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang
digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga
beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu,
kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung
atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan
bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat
musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek,
hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan
salohat. Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang
terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading. Orang
Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan
besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar),
taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu,
odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan
logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan
sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi,
sarune kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima
lempeng kayu sebagai pengganti taganing).
Sub suku Batak lainnya juga memiliki alat musik
dan jeis tarian dengan nama dan kekhasan tersendiri. Saya
merencanakan nantinya akan ada satu segmen khusus membahas
tentang alat musik tersebut.
Memahami Seni Suara dan Seni Gerak Batak
Dalam keterbatasan saya memberi penjelasan dengan bahasa seni dan
musik, akan mencoba mendeskripsikan ragam seni suara dan tata gerak
dalam kesenian tradisional batak lama.
Barangkali sudah membudaya dalam benak orang batak bahwa pentas seni
opera batak adalah mewakili seni teater batak. Ini terjadi setelah
Tilhang Gultom memulai pentas seni batak dengan paduan uning-uningan
dan nyanyian yang dipadukan dengan tari kreatif. Dalam pentas seni
itu kita dapat memaknai beberapa indikasi seni tradisi lama yang
dipadukan seperti andung, oing, tumbas dan ende.
Kita perlu melakukan penggalian dan kajian lebih luas ragam seni suara itu yang dulunya menjadi tradisi yang melekat dalam kehisupan masyarakat batak. Ragan seni suara itu kita bagi dalam beberapa bagian yang saling mengkait seperti ; Joting, Tumbas, Andung, Oing, Dideng, Didang, Doding.
Joting
Joting adalah seni suara dengan syair beraturan dipadukan dan gerak
yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan purnama
usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seorang bernyanyi dan
diiringi dengan irama koor kelompok sehingga terdengar seperti suara
gendang dan gong seperti “toh…tohhh, joing dagido…doh…doh…”
Kadang diselingi dengan kata “jolo ingot asa dok”.
Pada joting remaja biasanya terbagi dalam dua kelompok, laki-laki dan
perempuan. Kedua kelompok ini menyesuaikan irama dan gerak dengan
syair yang berisi pujian, sanjungan, ejekan, sindiran dari kedua
kelompok. Ada upaya mengalahkan dalam permainan ini dalam penguasaan
syair yang berbalasan. Joting ini disebut juga “maralo-alo”.
Permainan joting, baik untuk generasi muda tidak bisa dilakukan
diluar halaman perkampungan, sehingga para orangtua ikut menyaksikan
dari samping rumah masing-masing. Walau ada kalimat sidiran dan
ejekan, tapi tidak bertujuan menghina dan merendahkan pihak lawan.
Inti joting generasi muda adalah merayu dan mengajak pertemanan.
Pada daerah pesisir Danau Toba ada juga dikenal Joting Solu Bolon.
Joting ini dimainkan saat mendayung sampan besar yang berisi sekitar
12 orang. Seorang bernyanyi dan semua pengayuh menyambutnya dengan
suara “olo baaa” sambil mengayunkan dayungnya. Dengan joting ini
mereka dapat mengesampingkan rasa lelah dan membangun kekompakan.
Joting yang dimainkan para orang tua dan Joting
Solu Bolon biasanya menggunakan syair menyambung hingga merupakan
cerita kehidupan. Syair ini disebut “sidedeng”.
Ada syair pembuka joting ini berkata ;
“Tabo-tabo nin ulok da angkup ni dulang natata
Hatahon ma sededeng da nunga dompak angka raja.”
“Tabo-tabo nin ulok da angkup ni dulang natata
Hatahon ma sededeng da nunga dompak angka raja.”
Sidedeng dalam Joting Solu Bolon dibawah ini adalah nyanyian
“parluga” dari Pangururan menuju Tigaraja yang ditempuh hampir 5
jam. Kadang mereka berhenti melepas lelah di beberapa tempat seperti
di Hatoguan dan Onanrunggu. Semua riwayat perjalanan mereka itu
dinyanyikan dengan joting saat sedang mendayung sampan. Kadang mereka
menyanyikannya di halaman rumah pada bulan purnama untuk mengenang
perjalanan mereka itu.
Nilugahon
solu bolon
Solu parsampuluan
Manopinopi dolok
Sian tao ni Pangururan
Binolus ma Simbolon
Sahat tu hatoguan
Sahat ma disi
Huhut ma marnapuran
Nangnang ma manghatai
Huhut masisungkunan
Padomuhon tahi
Mangalului hangoluan
dst………Tumbas
Solu parsampuluan
Manopinopi dolok
Sian tao ni Pangururan
Binolus ma Simbolon
Sahat tu hatoguan
Sahat ma disi
Huhut ma marnapuran
Nangnang ma manghatai
Huhut masisungkunan
Padomuhon tahi
Mangalului hangoluan
dst………Tumbas
Joting pada umumnya dimainkan dengan duduk berkeliling dan bergantian
pelantun lagu berdiri untuk bernyanyi. Tumbas mirip dengan joting
tapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam sambil
bernyanyi. Gerakan mereka didominasi gerakan tortor, tapi ada
kombinasi hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan
kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan
nyanyian ini disebut TUMBAS sementara dalam syair lagunya ada kata
“tumba”. “Tumba” adalah syairnya, “Embas” adalah
gerakannya. Dalam permainan ini semakin berkembang kreasi
“maralo-alo” dari joting dengan versi gerakan yang mengiringi
syairnya yang berbalasan antara laki-laki dan perempuan.
Semakin lama permainan ini dipengaruhi dengan
gerakan tari Melayu pada daerah perbatasan Toba dengan Sipirok.
Mereka pun mulai memadukan nyanyian melayu dalam permainan itu.
Semakin lama mereka mempopulerkan permainan itu dengan sebutan TUMBA
saja karena “embas” tortor batak semakin dihilangkan dan
didominasi “joget” melayu. Dalam TUMBA saat ini tidak ada lagi
terlihat kesan Joting dan Tumbas yang dulunya sangat terkenal dengan
berbalas pantun dalam nyanyian atau “maralo-alo”Andung
Andung adalah ratatapan. Barangtentu nuansanya
adalah kesedihan. “Tangis” dapat saja dengan mencucurkan air mata
dengan iringan kata-kata yang bebas. “Angguk” adalah ratapan yang
bernuansa histeris. Bila tangisannya diiringi dengan suara yang
menggelegar dengan hempasan tubuh sembarangan disebut “Angguk
Bobar”.
Andung sangat berbeda dengan kedua tangisan itu. Andung dapat membuat
orang yang mendengarnya terpana, terpesona, terpancing untuk
meneteskan air mata. Pangandung yang lihai biasanya menutupi
kepalanya dengan ulos sehingga tidak dapat diketahui mimik wajahnya
ataupun kemungkinannya meneteskan air mata. Walau tidak terikat
dengan syair yang beraturan, bahasa andung sangat spesial dan jarang
diucapkan dalam bahasa sehari-hari. Andung adalah perpaduan Tangis,
Oing dengan sisipan “anggis” berupa jeritan suara sebagai sela
antara kalimat andung.
Oing
Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Namun oing ini kebanyakan
mengutarakan suka duka dan pengharapan. Biasanya dinyanyikan perlahan
dan dalam kesendirian. Saya pernah mendengar nenek saya “maroing”
pada tengah malam sambil “manirat” ulos. “Ompung doli” saya
dari ibu pernah juga saya dengar “maroing” saat merajut “hirang”
(keranjang). Oing mirip dengan andung tapi tonenya agak rendah. Oing
sering menjadi selipan pada seni “marturiturian” (bercerita).
Dideng,
Didang,
Doding
“Dideng” berupa seni suara bernuansa sanjungan dan dorongan
kepada seseorang. Dulu ada nyanyian untuk mendorong para pejuang
untuk bersemangat dalam perjuangan. Dideng ada junga merupakan
nyanyian sanjungan kepada para raja seperti kepada Raja
Sisingamangaraja dan Raja Uti. Dalam versi lain ada juga ditujukan
kepada anak-anak untuk rajin, berbudi luhur.
Para petani dengan menggunakan kerbau membajak dan meratakan tanah
sering juga mengunakan irama menyemangati “mitra kerjanya” itu.
Mereka berkomunikasi dengan kerbau itu tidak mengandalkan cambuk
saya, tapi dengan bahasa dengan irama yang mengalun mirip dengan
“dideng” tapi tidak dalam bentuk nyanyian.
Didang tidak merupakan seni suara, tapi merupakan
sikap menyanjung seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun perlahan
disebut “mandidang”, kadang diringi nyanyian untuk meninabobokan.
Dalam acara adat yang diiringi gondang, hulahula disambut dengan
tarian sambil mundur dapat diartikan “mandidang”. Gondang untuk
itu biasanya dari bagian “didang-didang” yang diciptakan beragam
seperti “didang-didang parsaoran dan didang-didang parsinabul dll”.
Doding ada dua bagian. Doding yang merupakan
kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati seseorang atau
kelompok orang. Yang kedua doding merupakan rangkaian kata-kata
bentuk nyanyian yang tujuannya sama seperti diatas. Orang tua yang
bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang belajar
berdiri termasuk “mandoding”. Doding hampir sama dengan Dideng,
tapi untuk sanjungan untuk orang yang dihormati tidak disebut
“mandoding”.Ende
Dalam permainan Joting, diawali dengan penyesuaian komposisi suara
pengiring/peserta hingga mirip irama gondang ata irama yang sesuai
dengan jenis joting yang akan dimainkan. Bila komposisi suara itu
sudah stabil, seseorang berdiri memulai nyayiannya. Kadang saat dia
bingung memulai, seseorang memberikan dorongan; “Endehon….endehon…”
atau “Suan…. suan….”
Semua syair dan irama yang dilagukan oleh pemain joting dan tumbas
disebut “ende”. Oing kadang disebut juga “ende”. Anak gadis
yang melantunkan lagu dengan kata-kata sesuai kehendaknya disebut
“ende-ende ni boru….”
Para seniman gondang batak dahulu sering mengamati nyanyian seorang
wanita dan mereka membuat irama itu menjadi “gonsi” (gondang).
Muncullah gondang dengan judul; misalnya “ende-ende ni boru
Simbolon”. Irama ini kemudian dipoles lagi hingga menjadi sebutan
“pangelek-elek ni boru Simbolon”
Diceritakan bahwa seorang gadis dari klan Simbolon yang cantik jelita
dan sulit diajak berteman oleh para pria. Seorang pria mengintip si
gadis dalam kesendirian sedang “marende-ende” lalu menghapalnya.
Pada kesempatan lain, saat sang pria mengajaknya untuk membuka pintu
rumahnya nasibnya sama dengan para pria lain, tidak ada respon. Lalu,
sang pria memainkan kecapi dengan irama sesuai dengan “ende-ende”
yang sering dinyanyikan si gadis idaman banyak pria itu. Boru
Simbolon pun kaget dari dalam rumahnya, siapa gerangan yang bisa
memetik kecapi dengan irama sesuai dengan endenya itu? Dia membuka
pintu dan mempersilahkan sang “penggoda” masuk kerumahnya.
Boru Simbolon yang mengetahui gondang ini bila memintanya dari
pargonsi yang mengetahui memainkan gondang ini, pasti akan menari
sepuasnya dengan lenggak yang memukau.
Ende-ende ni boru
Naipospos juga dikenal pargonsi hingga saat ini dengan sebutan
“gondang ni boru Naipospos”. Banyak legenda gadis batak dari
berbagai marga memiliki gondang yang berasal dari “ende”nya yang
kemudian disebut menjadi “gondang”nya. Ada juga sebutan lain dari
nama gondang itu seperti “embas-embas ni boru….”
Seni suara gerak dan tari dari suku batak ini mulai punah seiring
dengan hilangnya pemahaman mendasar tentang kesenian batak lama.
Gondang sering di klaim unsur “kesesatan” seiring dengan itu
kesenian lama lainnya pun dijauhkan. Kemudian muncul keinginan para
pengamat kesenian batak melakukan pengembangan, namun tidak didasari
dari akar kesenian itu berawal. Misalnya “tumba” yang menjadi
acuan dan diperkuat dengan seni opera batak yang mempopulerkan tumba
dalam pementasannya.
Andung-andung sering ditampilkan opera batak yang merupakan “ende”
yang irama sedih campur dengan “tangis”. Dari penyajiannya dapat
dilihat paduan “oing, ende, tangis”. Opera batak mempopulerkan
kesenian ini dengan sebutan andung-andung, yang sebenarnya bukan
andung. Kemudian komponis terkenal dari tanah batak Nahum Situmorang
ikut menciptakan lagu yang disebut Andung-andung ni….
Para seniman batak saat ini makin gemar bernyanyi
seperti menangis, walau judul lagunya tidak disebut “andung-andung”
tapi mirip tangisan dan kadang terdengar
seperti “mangokkihi”.
- Nilai Budaya
- Kekerabatan
Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam
pelaksanaan adat Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh
diluar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok saling menyebut
Sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk
diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut
Boru.
- Hagabeon
Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu
banyak, dan yang baik-baik.
- Hamoraan
Nilai kehormatan suku Batak yang terletak pada keseimbangan aspek
spiritual dan meterial.
- Uhum dan ugari
Nilai uhum orang Batak tercermin pada kesungguhan dalam menegakkan
keadilan sedangkan ugari terlihat dalam kesetiaan akan sebuah janji.
- Pengayoman
Pengayoman wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas
tersebut di emban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu.
- Marsisarian
Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling
membantu.
- Aspek Pembangunan
Aspek pembangunan dari suku Batak yaitu masuknya sistem sekolah dan
timbulnya kesempatan untuk memperoleh prestise social. Terjadinya
jaringan hubungan kekerabatan yang berdasarkan adat dapat berjalan
dengan baik. Adat itu sendiri bagi orang Batak adalah suci. Melupakan
adat dianggap sangat berbahaya. Pengakuan hubungan darah dan
perkawinan memperkuat tali hubungan dalam kehidupan sehari-hari.
Saling tolong menolong antara kerabat dalam dunia dagang dan dalam
lapangan ditengah kehidupan kota modern umum terlihat dikalangan
orang Batak. Keketatan jaringan kekerabatan yang mengelilingi mereka
itulah yang memberi mereka keuletan yang luar biasa dalam menjawab
berbagai tantangan dalam abad ini.
- Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus
sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan
Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan
na Tolu, yakni
Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa
Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak
Boru.
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu/Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem
kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai
konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula,
juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku
'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang
berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama
dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat
selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni
Boru.
- Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang
sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui
silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu).
Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya
minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya
(dongan tubu).
Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya
(partuturanna)
dalam suatu klan atau marga.
- Kontroversi
Belakangan sebagian orang Simalungun,
Karo,
Angkola,
dan Mandailing
tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Dalam sensus
penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan
Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai etnis Batak.
- Tempat Tinggal Suku Batak
Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa
desa-desa yang tertutup dan terdiri dari kelompok-kelompok kecil.
Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/clan atau kelompok yang
masih memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini
disebut huta(secara khusus bagi orang Batak
Toba).
Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak
Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu/tanah (parik)
yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir
mustahil ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya
yang bisa ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk/access road ke huta
tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal,
yaitu bahal jolo (gerbang depan) dan bahal pudi (gerbang belakang).
Dekat dengan bahal biasanya terdapat sebuah pohon beringin (baringin)
atau hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya sebagai
perantara antara dunia tengah dan dunia atas. Kedua pohon ini selalu
terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara
adat orang Batak Toba.
Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah
adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo yang letaknya
biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut
terdapat halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat
kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun
secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya sangat berbeda dari segi
konstruksi dan fungsi. Dari segi konstruksi, ciri-ciri yang bisa
dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah tiang, serta bentuk
pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda. Dari segi fungsi,
ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi
sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan
menganyam tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak
Toba pada awalnya tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya
mendirikan ruma sangat mahal dan susah, dikemudian hari sopo ini
dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal dengan menambahkan
dinding, pintu dan jendela.
Demikian juga rumah adat orang Batak yang lainnya
memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir sama. Namun
masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing. Dalam
kesempatan lain kita dapat membahasnya
lebih lanjut. Selanjutnya kemajuan
teknologi sedikit banyak mengakibatkan suku Batak mulai membangun
rumah-rumah kayu atau beton yang lebih praktis dan meninggalkan
pembangunan rumah adat tradisional yang asli. Jumlah rumah adat ini
belakangan semakin berkurang karena banyak yang tidak terawat atau
dibongkar pemilik dengan mengganti dengan rumah permanen dari kayu
atau beton. Dikhawatirkan dalam tahun-tahun yang akan datang rumah
adat suku Batak ini juga akan punah jika tidak dilestarikan.
- Aksara Suku Batak
Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit
suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak(wah
hebat juga nih orang Batak). Walaupun masing-masing sub suku Batak
juga memiliki jenis huruf yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan
masing-masing huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh
masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku
lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat
menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur
penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2(dua) kelompok utama:
bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun
(kelompok bahasa selatan); bahasa Karo, bersama logat Dairi dan
Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa utara). Sedangkan bahasa yang
dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa
tersebut di atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba
adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa hasil
penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak
mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa Sanskerta (hampir 10%).
Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau
Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba
diartikan sebagai arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa
sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak
adalah penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau
sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan
yang pasti untuk itu.
Aksara Batak yang kita kenal saat ini(umumnya aksara yang diajarkan
di sekolah-sekolah)telah mengalami penyempurnaan oleh pemerintah
untuk memudahkan proses pembelajaran. Seorang ahli bahasa
berkebangsaan Belanda bernama Neubronner van der Tuuk pernah
menerbitkan buku “Tentang Tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba”
(Overschrift en Uitspraak der Tobasche Taal) pada tahun 1855.
Kemudian pada tahun 1873 Bibel berbahasa Batak bagian Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru diterjemahkan dengan berpedoman pada buku van der
Tuuk tersebut.
Aksara Batak Toba terbagi atas dua bagian besar
yaitu suku kata dasar yang dibentuk oleh penggalan suku-suku kata
yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa, dll.
Kelompok huruf seperti ini dikenal sebagai ina ni surat atau indung
surat. Kelompok huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu
imbuhan yang membentuk penggalan suku kata gabungan yang tidak
terdapat pada suku kata dasar seperti e, i, u, o, eng, ing, ang, ung,
ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba terdapat aturan-aturan
yang menggabungkan antara ina ni surat dan anak ni surat sehingga
membentuk sebuah kata dan kalimat yang memiliki arti. Secara umum
pembagian ini juga ada dalam aksara sub
suku Batak lainnya.
Berbicara soal aksara dan bahasa, artinya kita juga pasti berpikir
tentang wujud aksara dan bahasa yang lebih kompleks yaitu sastra.
Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra
yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah
mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun (tonggo-tonggo),pantun
nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta
teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/
cerita rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita
rakyat yang berkembang di masyarakat, kisah yang paling banyak
dikenal adalah kisah penciptaan manusia pertama yang diyakini berasal
dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na
Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Bersama dengan
dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua
Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk
Patiaraja melahirkan tiga butir telur yang kemudian menetas menjadi 3
orang anak Debata Mulajadi Na Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan
Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan di Banua Ginjang. Soripada
berkedudukan di Banua Tonga dan Mangala Bulan berkedudukan di Banua
Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu
Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata).
Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon kemudian mengirimkan
putrinya Tapionda ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit.
Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di tanah Batak yaitu
si Raja Batak.
Ini adalah salah satu mitos yang dipercayai oleh orang Batak dari
sekian banyak mitos yang diturunkan oleh nenek moyang orang Batak
kepada para penerusnya. Mudah-mudahan suatu saat kita dapat membahas
secara khusus tentang mitos-mitos tersebut.
- Budaya Suku Batak
Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak yaitu seluruh nila-nilai
kehidupan suku bangsa Batak di waktu-waktu mendatang merupakan
penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu
sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai kehidupan tersebut
menjadi suatu ciriyang khas bagi suku bangsa batak yakni : keyakinan
dan keprcayaan bahwa ada Maha pencipta sebagai Tuhan yang menciptakan
alam semesta besertasegala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi.
Untuk mewujudkan kesimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan
sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan
yang lainnya. Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi
spiritualnya, alam lingkungan sebagai objek integritasnyasku bangsa
Batak telah dinaungi Patik. Patik berfungsi sebagai batasan tatanan
kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran. Patik ditandai dengan
kata Unang, Tongka, Sotung, Dang Jadi. Sebagai akibat dari
penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau
Hukum. Uhum atau Hukum ditandai oleh kata ; Aut, Duru, Sala, Baliksa,
Hinorhon, Laos, Dando, Tolon, Bura dsb.
Didalam menjalankan kehidupan suku bangsa Batak terutama interaksi
antara semua manusia dibuatlah nilai-nilai antara sesama, etika
maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai system
kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon.
Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata
Sotung. Dan mengharamkan segala aturan untuk dilanggar dikatakan
dengan kata Subang.
- Makna Kebudayaan Batak
Tata nilai kehidupan suku Batak di dalam proses pengembangannya
merupakan pengolahan tingkat daya dan perkembangan daya dalam satu
sistem komunikasi meliputi :
- Sikap Mental (Hadirion)
Sikap mental ini tercermin dari pepatah : babiat
di harbangan, gompul di alaman. Anak
sipajoloon nara tu jolo.
- Nilai Kehidupan (Ruhut-ruhut Ni Parngoluon)
Pantun marpangkuling bangko ni anak na bisuk.
Donda marpangalaho bangkoni boru na uli. (Pantun
hangoluan tois hamagoan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar