SERI
BELAJAR DARI JEPANG : “BUDAYA
MALU DI JEPANG”
Niji No Saki
17 April 2010 - 01:35
(http://waystosayhello.wordpress.com)
Saya pikir sudah bukan rahasia lagi kalo Jepang adalah salah satu
negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut survery
WHO, data tahun 2006 menunjukkan bahwa Jepang menempati urutan ke-6
di seluruh dunia, di mana angka ke 1 s/d ke-5 didominasi oleh
negara-negara eks Uni Soviet. Di antara negara-negara maju, Jepang
masih menduduki rangking pertama dalam jumlah bunuh diri per tahun.
Selama saya tinggal di Jepang berita bunuh diri di TV hampir sama
frekuensinya dengan berita kawin-cerai selebriti kita di tanah air.
Kereta pun beberapa kali mandeg ataupun terlambat dikarenakan
seseorang merelakan dirinya untuk dicium kereta yang sedang melaju.
Penyebab utama bunuh diri rata-rata disebabkan oleh depresi, tekanan
sosial diikuti dengan hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan.
Fenomena bunuh diri (Seppuku)
erat kaitannya dengan budaya malu orang Jepang. Seppuku
adalah bagian dari sikap kesatriaan (Bushido)
seperti halnya chivalry
dalam budaya lama orang Eropa. Tidak seperti masyarakat kita yang
mempunyai toleransi sangat tinggi dalam menerima kekhilafan dan
kesalahan orang lain, orang Jepang mempunyai nilai-nilai sosial yang
sangat strict
dan tuntutan konformitas yang cukup tinggi, bahkan hingga hari ini.
Mereka sangat menjunjung tinggi kesempurnaan dan hal itu telah
mendarahdaging dalam kehidupan bermasyarakatnya. Mereka akan sangat
malu jika dianggap tidak perform
atau tidak deliver.
Tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik itulah yang membuat
tingkat stress cukup tinggi di kalangan pekerja (salaryman)
di Jepang.
Tak bisa disangkal bahwa budaya malu pulalah
adalah salah satu propeller
mereka menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, hanya dalam waktu 20
tahun setelah diluluhlantakkan perang dunia II. Tiap orang akan
merasa malu jika tidak berkarya, tidak berusaha sekeras yang mereka
bisa. Jangan tanya soal toleransi kesalahan, bukan hanya teguran atau
sanksi normatif, reputasi taruhannya. Kesalahan kecil yang terlihat
‘biasa’ di media kita bisa menjadi skandal yang sangat besar di
Jepang. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu pernah terjadi kecelakaan
kereta yang menewaskan beberapa orang (saya lupa penyebabnya). Salah
satu petinggi JR (Japan Railway) langsung memberikan pernyataan di
televisi. Sambil menyampaikan bela sungkawa ke keluarga korban, ia
membungkuk sedalam-dalamnya sebagai ekspresi rasa bersalah. Seakan
tak cukup, ia kemudian duduk bersimpuh menghadap papan
nama-nama korban meninggal, menangis, sebelum kemudian mundur dari
jabatannya. Skandal wanita simpanan seorang menteri yang sempat
mencuat ke permukaan tahun lalu kemudian membuatnya juga meletakkan
jabatannya karena rasa malu. Bandingkan hal ini dengan pejabat kita
yang ketahuan korupsi atau merekayasa kasus.
Satu hal lain yang teramat saya kagumi selain
budaya malu adalah budaya untuk memperhatikan dan melayani orang
lain. Jika di Indonesia kita mengenal orang Jogja dan Solo terkenal
akan kehalusan bahasa dan sopan santunnya, orang Jepang lebih santun
dari orang Jawa. Masuklah ke kombini
(mini market), warung makan atau restoran, semua pegawai akan segera
menyapa anda dengan sapaan ‘irasshaimase...’
(selamat datang). Di tempat-tempat
pelayanan publik, anda akan dipanggil dengan sebutan ‘o-kyaku-sama’
(pelanggan yang terhormat, awalan ‘o-’
di depan huruf menunjukkan rasa hormat, begitu juga dengan panggilan
‘-sama’
yang setingkat lebih tinggi daripada panggilan yang lebih umum,
‘-san’).
Sedemikian tingginya mereka menghargai pelanggan. Adalah suatu
kebanggaan profesi bagi mereka untuk memberikan pelayanan
sebaik-baiknya. Datanglah ke kantor pelayanan publik dan tidak akan
anda jumpai pegawai meninggalkan posnya untuk ngobrol, ngopi atau
baca koran. Semua sibuk, bergerak kesana-kemari seperti semut. Jika
sudah tiba giliran anda untuk dilayani, kata pertama yang akan mereka
ucapkan adalah ‘o-matase
itashimashita..’
(terjemahan bebasnya: ‘terimakasih telah menunggu’. Awalan ‘o-’
di sini menunjukkan rasa hormat, sedangkan ‘itashimashita’
adalah kata kerja dalam bentuk yang paling halus, semacam kromo
inggil dalam bahasa Jawa).
Budaya melayani dan mendahulukan orang lain ini
bisa anda lihat dimana-mana. Jika anda berkesempatan bertamu ke rumah
orang Jepang, jangan kaget jika alas kaki yang semula anda lepaskan
menghadap ke dalam rumah, ketika anda akan pulang sudah berganti ke
arah yang sebaliknya. Tuan rumah pastilah telah mengaturnya agar anda
tidak perlu repot-repot membalikkan badan jika akan keluar nanti.
Jika anda naik kereta dan bus, anda tidak diperkenankan menelepon
dengan HP karena dikhawatirkan mengganggu orang di dekat anda. Anda
juga akan menjumpai ‘courtesy seat’
yang khusus diperuntukkan untuk manula, ibu hamil, ibu yg menggendong
anak dan orang-orang dengan keterbatasan fisik. Di beberapa toilet
umum kadang kita diminta untuk menyeka wastafel agar tetap kering
ketika orang lain akan mempergunakannya.
Dari usia dini, budaya saling melayani ini telah ditanamkan di
sekolah dasar dan TK. Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di
Jepang pun ada, dengan tanggung jawab yang lebih banyak.
Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya membersihkan kelas
saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan untuk
teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan
di sekolah. Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih
massal, semua orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan.
Kalau di Indonesia hal tersebut harus diabadikan dalam bentuk foto
untuk mengesankan kesungguhan dan kerja keras, di Jepang tidak perlu
karena sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika
ada yang tidak berpartisipasi.
Budaya perhatian terhadap orang lain ini kadang
terkesan lucu bagi saya. Di kereta pernah saya liat papan peringatan
yang bunyinya menggelitik. Contoh: “jaket musim dingin yang anda
kenakan sangat tebal, perhatikan agar jangan sampai menyenggol orang
di sekitar anda.”, atau “Perhatikan volume headset yang anda
gunakan, jangan sampai mengganggu orang lain.” (headset lo, bukan
speaker..) dan masih banyak lagi lainnya.
Kebudayaan mendahulukan dan melayani orang lain
ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism. Melayani menumbuhkan rasa
rendah hati dan kepekaan diri. Ironisnya, masyarakat Jepang yang
rata-rata tidak beragama justru masih sangat teguh memegang tradisi
ini. Betapa indahnya jika kita saling melayani, betapa damainya jika
sifat rendah hati dan saling peduli menjadi keseharian kita. Kita
yang mengaku beragama ini, mampukah kita mengamalkan ajaran agama
dalam ranah hablum minannas
(antar manusia) seperti halnya orang Jepang?
Mundurnya Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama
dapat menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi kebanyakan
pemimpin di dunia ini, khususnya di Indonesia.
Bagi kalangan pemimpin di Jepang, keputusan mengundurkan diri dalam
suatu jabatan penting seperti Perdana Menteri sudah menjadi budaya
malu atau siri' bila mereka menganggap dirinya gagal menjalankan
janji-janji kepada masyarakatnya. Patutkah budaya malu ini
dicontohkan di Indonesia bila seorang pemimpin dianggap gagal atau
bermasalah dalam menjalankan kewajibannya? Bila kita menyimak mengapa
Perdana Menteri Jepang mengambil langkah mengundurkan diri, alasannya
sangat sederhana bahwa dia tidak mampu memenuhi janjinya kepada
masyarakat Jepang untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat
di Okinawa. Memang, akhir-akhir ini Yukio Hatoyama mendapat tekanan
politik dari berbagai kalangan di Jepang.
Apa yang dilakukan Hatoyama dan beberapa perdana Menteri Jepang
sebelumnya jauh berbeda dengan apa yang terjadi kebanyakan pemimpin
di Indonesia. Di Nusantara ini yang mayoritas penduduk Islam di
dunia, seorang pemimpin akan berjuang dengan berbagai cara
mempertahankan kedudukannya, meski nyata-nyata gagal memenuhi janji
dan tak habis-habisnya mendapat penolakan dari masyarakat, serta
didemo dan dihujat. Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung
menjadikan kekuasaan turun-temurun. Apakah mengundurkan diri dalam
suatu jabatan penting sama sekali diharamkan bagi pemimpin di
Indonesia?
Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia sepatutnya punya
rasa siri' atas apa yang dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan
sportif dan dalam waktu singkat melepas jabatan karena tak berhasil
memenuhi janji. Tentunya sudah sangat keterlaluan apabila pemimpin
Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan hanya karena alasan dipilih
rakyat, meski tak mampu berbuat apa-apa.
Kenyataannya, bahwa banyak pemimpin di Indonesia dianggap gagal
memenuhi janji mereka sendiri sudak terbukti. Tapi nyatanya, kita
belum pernah mendengar seorang pemimpin Indonesia mundur dengan
alasan tak mampu menepati janji. Sudah saatnya pemimpin di negeri ini
harus mengambil sikat budaya malu alias mengundurkan diri jika gagal
memenuhi kewajibannya. Kasus-kasus korupsi masih menghantui
kebanyakan pemimpin Indonesia. Jadi, mengmbil langkah mengundurkan
diri ala Jepang merupakan pembelajaran budaya malu bagi pemimpin
kita.
“BUDAYA
MALU DI JEPANG”
Oleh
: Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi
bisnis Asia; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara
(FE Untar).
Jakarta (ANTARA News) - Budaya malu (shame
culture) sejatinya merupakan sikap dan
sifat bangsa Timur/Asia termasuk kita. Intinya merupakan wujud
hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari
publisitas saja.
Marilah kita menelsuri sikap hidup (way
of life) dan dasar falsafah hidup
masyarakat Jepang. Falsafah kuno, Konfusianisme yang berasal dari
China banyak diserap para pendidik besar Jepang, sebut, mulai
dari Baigan Ishido yang hidup dalam eranya Edo (1600-1867)
menyampaikan pada masyarakat Jepang prinsip hidup dalam
berinteraksi bisnis :
- Seorang pengusaha sejati memperoleh laba untuk dirinya dan untuk orang lain. Jadi bukan egoistik dasarnya.
- Jangan memaksa pelanggan membeli dengan menyembunyikan produk/jasa yang justru disukai pelanggan.
- Usahakan hanya menjual produk/jasa yang memberi manfaat (beneficial) pada para pelanggan.
Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang
moral/akhlak konsep rinri
(bertata-krama), jiwanya dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di
Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang
menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian
keluarga, tapi juga dalam keseharian pelayanan brokrasi dan
kelincahan bisnis/mencari untung dengan pertanggungjawaban
sosial.
Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai
panduan perilaku bisnis sampai sekarang di sana, meskipun tidak
eksplisit. Yang terhitung dalam ‘rinri’ intinya sebagai pemahaman
tentang respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan menghargai
orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi dalam
interaksi bisnis antara pengusaha dan masyarakat pasar. Pada
gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki
kualitas minimal (minimum quality of a
human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam hidup sebagai
banyak dipraktikkan Barat sangat berlawanan dengan sikap hidup dasar
(way of life)
Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam berbisnis dan interaksi sosial
ujung-ujungnya merupakan kesalahan fatal.
Filsuf kuno Konfusius sudah zaman dulu
mengungkapkan secara halus berikut ini “... kesalahan mendasar kita
adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the
real fault is to have faults and not to amend it).”
Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu
menggugat diri dengan melakukan meditasi dan kemudian
memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai
ber-harakiri
(bunuh diri), karena rasa malu.
Bagaimana kita? Dalam sikap dan tingkah laku
tergesa-gesa, apa masih sadar dan mau menjiwai budaya malu tatkala
bohong atau dengan muka sok paling jujur berhadapan dengan kawan atau
lawan bicara, dan sampai hati menyalahkan tanpa mau
menghargai/mendengar dulu sikap kawan atau pandang lawan bicara,
hanya demi kemenangan uang?
Setiap anggota masyarakat harus berani dengan
fokus menatap cermin setiap pagi sebelum sarapan
dan malam sebelum tidur selama 60 detik/satu menit, mengugat diri dan
bertanya yang ada di cermin masih menghayati etika atau
sudah luntur budaya malunya?
Terungkap sekalipun tidak ekspilisit membangun
saling percaya dalam era keterbukaan dalam masyarakat kecil sampai
internasional, makin sulit dan rumit. Yang seringkali menonjol justru
adalah saling mencurigai (mutual
distrust), antar-pelaku organisasi
sipil dan bisnis, antar-berbagai kalangan masyarakat sipil (civil
society), antar-masyarakat pasar
dengan bisnis, sekalipun dipolesi dengan senyum simpul yang tampak
tawar.
Kembali ke dasar-dasar kehidupan manusia yang
harmonis berarti merupakan langkah utama mereformasi diri, tanpa
banyak gebyar-gebyar/publisitas polesan. Tegasnya dalam arti dari
perilaku saling mencurigai, kembali membangun rangkaian saling
mempercayai (from a series of distrust
to a network of trust).
Dalam era yang banyak didengung-dengungkan sebagai era globalisasi
yang patut disadari globalisasi tidak berarti uniformitas menurut
tafsiran pencetusnya istilahnya, yakni kalangan elit Amerika. Dalam
tradisi teori mereka, pasar bebas dalam arti yang kuat menguasai yang
lemah, dan istilah moralitas, sistem nilai etika, masing-masing
individu hanya dipermukaan saja.
Merasionalkan egoisme Barat sebagai prinsip “untuk
saya dulu untungnya dan manfaatnya, anda nanti nanti saja atau
biarlah anda menderita fisik dan psikis saja”. Lalu dengan
keterbukaan sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, apa kita terus menjiplak dengan membiarkan gejala egoisme
tersebut dalam masyarakat kota dan terus menjalar ke pinggiran kota
(sub-urbans)
dan desa?
Dalam lokasi masyarakat dengan interaksi sosial
yang makin terbuka meluas, tenggang rasa pada orang lain, sejatinya
merupakan salah satu kunci yang lebih bermutu. Walaupun realita dunia
yang makin terbuka, tantangan terus menerus menggugat diri masing
masing terutama yang hidup di kawawan kota dan pinggiran kota
(sub-urban).
Mengapa dalam era keterbukaan dan inovasi
informasi komunikasi melalui sarana Internet, facebook
dan twitter yang
serba cepat, ada yang sampai hati sengaja lupa diri demi egoisme ala
Barat menjatuhkan martabat orang lain yang ujung-ujungnya diri
sendiri?
Oleh karena itu dalam setiap kehidupan keluarga dan bermasyarakat
secara kontinu sehari-hari dengan sikap pandang etis ini
masin-masing anggota masyarakat yang dilayani merasa dipercayai dan
sebagai timbal balik mau tulus mempercayai dengan membalas budi dan
jasa mutu sesama dalam interaksi sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar