Jumat, 11 Mei 2012


SERI  BELAJAR DARI JEPANG : “BUDAYA MALU DI JEPANG”
Niji No Saki
17 April 2010 - 01:35
(http://waystosayhello.wordpress.com)
Saya pikir sudah bukan rahasia lagi kalo Jepang adalah salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut survery WHO, data tahun 2006 menunjukkan bahwa Jepang menempati urutan ke-6 di seluruh dunia, di mana angka ke 1 s/d ke-5 didominasi oleh negara-negara eks Uni Soviet. Di antara negara-negara maju, Jepang masih menduduki rangking pertama dalam jumlah bunuh diri per tahun.
Selama saya tinggal di Jepang berita bunuh diri di TV hampir sama frekuensinya dengan berita kawin-cerai selebriti kita di tanah air. Kereta pun beberapa kali mandeg ataupun terlambat dikarenakan seseorang merelakan dirinya untuk dicium kereta yang sedang melaju. Penyebab utama bunuh diri rata-rata disebabkan oleh depresi, tekanan sosial diikuti dengan hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan.
Fenomena bunuh diri (Seppuku) erat kaitannya dengan budaya malu orang Jepang. Seppuku adalah bagian dari sikap kesatriaan (Bushido) seperti halnya chivalry dalam budaya lama orang Eropa. Tidak seperti masyarakat kita yang mempunyai toleransi sangat tinggi dalam menerima kekhilafan dan kesalahan orang lain, orang Jepang mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat strict dan tuntutan konformitas yang cukup tinggi, bahkan hingga hari ini. Mereka sangat menjunjung tinggi kesempurnaan dan hal itu telah mendarahdaging dalam kehidupan bermasyarakatnya. Mereka akan sangat malu jika dianggap tidak perform atau tidak deliver. Tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik itulah yang membuat tingkat stress cukup tinggi di kalangan pekerja (salaryman) di Jepang.
Tak bisa disangkal bahwa budaya malu pulalah adalah salah satu propeller mereka menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, hanya dalam waktu 20 tahun setelah diluluhlantakkan perang dunia II. Tiap orang akan merasa malu jika tidak berkarya, tidak berusaha sekeras yang mereka bisa. Jangan tanya soal toleransi kesalahan, bukan hanya teguran atau sanksi normatif, reputasi taruhannya. Kesalahan kecil yang terlihat ‘biasa’ di media kita bisa menjadi skandal yang sangat besar di Jepang. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu pernah terjadi kecelakaan kereta yang menewaskan beberapa orang (saya lupa penyebabnya). Salah satu petinggi JR (Japan Railway) langsung memberikan pernyataan di televisi. Sambil menyampaikan bela sungkawa ke keluarga korban, ia membungkuk sedalam-dalamnya sebagai ekspresi rasa bersalah. Seakan tak cukup, ia kemudian  duduk bersimpuh menghadap papan nama-nama korban meninggal, menangis, sebelum kemudian mundur dari jabatannya. Skandal wanita simpanan seorang menteri yang sempat mencuat ke permukaan tahun lalu kemudian membuatnya juga meletakkan jabatannya karena rasa malu. Bandingkan hal ini dengan pejabat kita yang ketahuan korupsi atau merekayasa kasus.
Satu hal lain yang teramat saya kagumi selain budaya malu adalah budaya untuk memperhatikan dan melayani orang lain. Jika di Indonesia kita mengenal orang Jogja dan Solo terkenal akan kehalusan bahasa dan sopan santunnya, orang Jepang lebih santun dari orang Jawa. Masuklah ke kombini (mini market), warung makan atau restoran, semua pegawai akan segera menyapa anda dengan sapaan irasshaimase...’ (selamat datang). Di tempat-tempat pelayanan publik, anda akan dipanggil dengan sebutan o-kyaku-sama (pelanggan yang terhormat, awalan o-’ di depan huruf menunjukkan rasa hormat, begitu juga dengan panggilan ‘-sama yang setingkat lebih tinggi daripada panggilan yang lebih umum, ‘-san). Sedemikian tingginya mereka menghargai pelanggan. Adalah suatu kebanggaan profesi bagi mereka untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Datanglah ke kantor pelayanan publik dan tidak akan anda jumpai pegawai meninggalkan posnya untuk ngobrol, ngopi atau baca koran. Semua sibuk, bergerak kesana-kemari seperti semut. Jika sudah tiba giliran anda untuk dilayani, kata pertama yang akan mereka ucapkan adalah o-matase itashimashita.. (terjemahan bebasnya: ‘terimakasih telah menunggu’. Awalan ‘o-’ di sini menunjukkan rasa hormat, sedangkan itashimashita adalah kata kerja dalam bentuk yang paling halus, semacam kromo inggil dalam bahasa Jawa).
Budaya melayani dan mendahulukan orang lain ini bisa anda lihat dimana-mana. Jika anda berkesempatan bertamu ke rumah orang Jepang, jangan kaget jika alas kaki yang semula anda lepaskan menghadap ke dalam rumah, ketika anda akan pulang sudah berganti ke arah yang sebaliknya. Tuan rumah pastilah telah mengaturnya agar anda tidak perlu repot-repot membalikkan badan jika akan keluar nanti. Jika anda naik kereta dan bus, anda tidak diperkenankan menelepon dengan HP karena dikhawatirkan mengganggu orang di dekat anda. Anda juga akan menjumpai ‘courtesy seat’ yang khusus diperuntukkan untuk manula, ibu hamil, ibu yg menggendong anak dan orang-orang dengan keterbatasan fisik. Di beberapa toilet umum kadang kita diminta untuk menyeka wastafel agar tetap kering ketika orang lain akan mempergunakannya.
Dari usia dini, budaya saling melayani ini telah ditanamkan di sekolah dasar dan TK. Kalau di Indonesia kita mengenal kata piket, di Jepang pun ada, dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Kelompok-kelompok piket yang bertugas bukan hanya membersihkan kelas saja, tapi juga membantu memasak dan menyiapkan makanan untuk teman-temannya, menyiram tanaman dan memberi makan binatang piaraan di sekolah. Di hari-hari tertentu jika ada kegiatan bersih-bersih massal, semua orang turun tak terkecuali, termasuk para pimpinan. Kalau di Indonesia hal tersebut harus diabadikan dalam bentuk foto untuk mengesankan kesungguhan dan kerja keras, di Jepang tidak perlu karena sudah merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah jika ada yang tidak berpartisipasi.
Budaya perhatian terhadap orang lain ini kadang terkesan lucu bagi saya. Di kereta pernah saya liat papan peringatan yang bunyinya menggelitik. Contoh: “jaket musim dingin yang anda kenakan sangat tebal, perhatikan agar jangan sampai menyenggol orang di sekitar anda.”, atau “Perhatikan volume headset yang anda gunakan, jangan sampai mengganggu orang lain.” (headset lo, bukan speaker..) dan masih banyak lagi lainnya.
Kebudayaan mendahulukan dan melayani orang lain ini bersumber dari ajaran Zen Buddhism. Melayani menumbuhkan rasa rendah hati dan kepekaan diri. Ironisnya, masyarakat Jepang yang rata-rata tidak beragama justru masih sangat teguh memegang tradisi ini. Betapa indahnya jika kita saling melayani, betapa damainya jika sifat rendah hati dan saling peduli menjadi keseharian kita. Kita yang mengaku beragama ini, mampukah kita mengamalkan ajaran agama dalam ranah hablum minannas (antar manusia) seperti halnya orang Jepang?
Mundurnya Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama dapat menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi kebanyakan pemimpin di dunia ini, khususnya di Indonesia. Bagi kalangan pemimpin di Jepang, keputusan mengundurkan diri dalam suatu jabatan penting seperti Perdana Menteri sudah menjadi budaya malu atau siri' bila mereka menganggap dirinya gagal menjalankan janji-janji kepada masyarakatnya. Patutkah budaya malu ini dicontohkan di Indonesia bila seorang pemimpin dianggap gagal atau bermasalah dalam menjalankan kewajibannya? Bila kita menyimak mengapa Perdana Menteri Jepang mengambil langkah mengundurkan diri, alasannya sangat sederhana bahwa dia tidak mampu memenuhi janjinya kepada masyarakat Jepang untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa. Memang, akhir-akhir ini Yukio Hatoyama mendapat tekanan politik dari berbagai kalangan di Jepang.
Apa yang dilakukan Hatoyama dan beberapa perdana Menteri Jepang sebelumnya jauh berbeda dengan apa yang terjadi kebanyakan pemimpin di Indonesia. Di Nusantara ini yang mayoritas penduduk Islam di dunia, seorang pemimpin akan berjuang dengan berbagai cara mempertahankan kedudukannya, meski nyata-nyata gagal memenuhi janji dan tak habis-habisnya mendapat penolakan dari masyarakat, serta didemo dan dihujat. Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung menjadikan kekuasaan turun-temurun. Apakah mengundurkan diri dalam suatu jabatan penting sama sekali diharamkan bagi pemimpin di Indonesia?
Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia sepatutnya punya rasa siri' atas apa yang dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan sportif dan dalam waktu singkat melepas jabatan karena tak berhasil memenuhi janji. Tentunya sudah sangat keterlaluan apabila pemimpin Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan hanya karena alasan dipilih rakyat, meski tak mampu berbuat apa-apa.
Kenyataannya, bahwa banyak pemimpin di Indonesia dianggap gagal memenuhi janji mereka sendiri sudak terbukti. Tapi nyatanya, kita belum pernah mendengar seorang pemimpin Indonesia mundur dengan alasan tak mampu menepati janji. Sudah saatnya pemimpin di negeri ini harus mengambil sikat budaya malu alias mengundurkan diri jika gagal memenuhi kewajibannya. Kasus-kasus korupsi masih menghantui kebanyakan pemimpin Indonesia. Jadi, mengmbil langkah mengundurkan diri ala Jepang merupakan pembelajaran budaya malu bagi pemimpin kita.

BUDAYA MALU DI JEPANG”
Oleh : Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi bisnis Asia; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).
Jakarta (ANTARA News) - Budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk kita. Intinya merupakan  wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas saja.
Marilah kita menelsuri  sikap hidup (way of life) dan dasar falsafah hidup  masyarakat Jepang. Falsafah kuno, Konfusianisme yang berasal dari China banyak diserap  para pendidik besar Jepang, sebut, mulai dari Baigan Ishido yang hidup dalam eranya Edo (1600-1867) menyampaikan pada masyarakat  Jepang prinsip hidup dalam berinteraksi bisnis :
  1. Seorang pengusaha sejati memperoleh laba untuk dirinya dan untuk orang lain. Jadi bukan egoistik dasarnya.
  2. Jangan memaksa pelanggan membeli dengan menyembunyikan produk/jasa yang justru  disukai pelanggan.
  3. Usahakan hanya menjual produk/jasa yang memberi manfaat (beneficial) pada para pelanggan.
Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang moral/akhlak konsep rinri (bertata-krama), jiwanya dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang  menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam  keseharian pelayanan brokrasi dan  kelincahan bisnis/mencari untung  dengan pertanggungjawaban sosial.
Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku bisnis sampai sekarang di sana, meskipun tidak eksplisit. Yang terhitung dalam ‘rinri’ intinya sebagai pemahaman tentang respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi dalam interaksi bisnis antara  pengusaha dan masyarakat pasar. Pada gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal (minimum quality of a human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam hidup sebagai banyak dipraktikkan Barat sangat berlawanan dengan sikap hidup dasar (way of life) Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam berbisnis dan interaksi sosial ujung-ujungnya merupakan kesalahan fatal.
Filsuf kuno Konfusius sudah zaman dulu mengungkapkan secara halus berikut ini “... kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it).” Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan  fatal, karena malu menggugat diri  dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.
Bagaimana kita? Dalam sikap dan tingkah laku tergesa-gesa, apa masih sadar dan mau menjiwai budaya malu tatkala  bohong atau dengan muka sok paling jujur berhadapan dengan kawan atau lawan bicara, dan sampai hati menyalahkan tanpa mau menghargai/mendengar dulu sikap kawan atau pandang lawan bicara, hanya demi kemenangan uang?
Setiap anggota masyarakat harus berani dengan fokus menatap cermin  setiap  pagi sebelum sarapan  dan malam sebelum tidur selama 60 detik/satu menit, mengugat diri dan bertanya yang ada di cermin masih menghayati etika atau sudah luntur budaya malunya?
Terungkap sekalipun tidak ekspilisit membangun saling percaya dalam era keterbukaan dalam masyarakat kecil sampai internasional, makin sulit dan rumit. Yang seringkali menonjol justru adalah saling mencurigai (mutual distrust), antar-pelaku organisasi sipil dan bisnis, antar-berbagai kalangan masyarakat sipil (civil society), antar-masyarakat pasar dengan bisnis, sekalipun dipolesi dengan senyum simpul yang tampak tawar.
Kembali ke dasar-dasar kehidupan manusia yang harmonis berarti merupakan langkah utama mereformasi diri, tanpa banyak gebyar-gebyar/publisitas polesan. Tegasnya dalam arti dari  perilaku saling mencurigai, kembali membangun rangkaian saling mempercayai (from a series of distrust to a network of trust).
Dalam era yang banyak didengung-dengungkan sebagai era globalisasi yang patut disadari globalisasi tidak berarti uniformitas menurut tafsiran pencetusnya istilahnya, yakni kalangan elit Amerika. Dalam tradisi teori mereka, pasar bebas dalam arti yang kuat menguasai yang lemah, dan istilah  moralitas, sistem nilai etika, masing-masing individu  hanya dipermukaan saja.
Merasionalkan egoisme Barat sebagai prinsip “untuk saya dulu untungnya dan manfaatnya, anda  nanti nanti saja atau biarlah anda menderita fisik dan psikis saja”. Lalu dengan keterbukaan sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, apa kita terus menjiplak dengan membiarkan gejala egoisme tersebut dalam masyarakat kota dan terus menjalar ke pinggiran kota (sub-urbans) dan desa?
Dalam lokasi masyarakat dengan interaksi sosial yang makin terbuka meluas, tenggang rasa pada orang lain, sejatinya merupakan salah satu kunci yang lebih bermutu. Walaupun realita dunia yang makin terbuka, tantangan terus menerus menggugat diri masing masing terutama  yang hidup di kawawan kota dan pinggiran kota (sub-urban).
Mengapa dalam era  keterbukaan dan inovasi informasi komunikasi melalui sarana Internet, facebook dan twitter yang serba cepat, ada yang sampai hati sengaja lupa diri demi egoisme ala Barat menjatuhkan martabat orang lain yang ujung-ujungnya diri sendiri?
Oleh karena itu dalam setiap kehidupan keluarga dan bermasyarakat secara kontinu sehari-hari dengan  sikap pandang etis ini masin-masing anggota masyarakat yang dilayani merasa dipercayai dan sebagai timbal balik mau tulus mempercayai dengan membalas budi dan jasa mutu sesama  dalam interaksi sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar